Jauh di dasar sanubari kita sebagai bangsa besar ada ketakutan yang akut bahwa sekarang, setelah dua dekade menikmati demokrasi, kita sedang berjalan tanpa peta jalan yang jelas. Ketidakterarahan ini membuat grafik sejarah kita terus mendatar dan tidak lagi mendaki pencapaian yang tinggi. Padahal seluruh potensi besar kita sebagai bangsa seharusnya meledak saat kita beralih ke sistem demokrasi. Langit kita terlalu tinggi tapi kita terbang terlalu rendah. Ketakutan yang akut itu menandai adanya krisis yang kompleks, baik dalam narasi maupun kepemimpinan.
Sementara itu dalam percaturan global kita menyaksikan dunia yang semakin kacau dan setiap saat dapat berkembang menjadi perang dunia yang lebih mengerikan dari dua perang dunia sebelumnya. Perubahan pada perimbangan kekuatan global dalam bidang ekonomi, tehnologi dan militer telah memicu perang supremasi baru antara kekuatan global; Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia dan Eropa. Perang ini pasti akan berlangsung lama,tanpa kaedah yang jelas, dan tentu akan merambah semua sektor kehidupan kita; dari perang dagang, perang tehnologi, perlombaan senjata, perang geopolitik hingga perang ideologi. Sistem global mulai tidak berfungsi, dan seluruh institusinya seperti lumpuh dan tidak berdaya menghadapi krisis global ini. Perang selalu hadir saat sejarah menemui jalan buntu.
Dua krisis ini, nasional dan global, semakin memperkuat ketakutan kita bahwa perjalanan kita bukan saja akan semakin lambat dan terseok-seok, tapi juga bisa menjadikan kita sebagai korban yang sia-sia akibat krisis global. Dan patahan-patahan sejarah yang telah kita lalui sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang hingga Gerakan 30 September atau G30S/PKI tahun 1965 sebagai residu Perang Dingin adalah fakta kasat mata bagaimana kita menjadi korban dari krisis global yang tidak terantisipasi.
Dari perjalanan sejarah panjang kita sebagai bangsa Indonesia, kita menemukan fakta bahwa setidaknya kita melalui dua gelombang sejarah yang penting. Pertama adalah menjadi Indonesia, dan kedua, adalah menjadi negara-bangsa moderen yang kuat. Seharusnya sekarang kita memasuki gelombang ketiga dimana Indonesia menjadi salah satu kekuatan utama dan merupakan bagian dari kepemimpinan dunia.
Sebuah gerakan kebangkitan baru Indonesia menjadi niscaya dan merupakan kewajiban sejarah dan agama. Gerakan kebangkitan baru itu bertujuan meletakkan visi sejarah baru yang berjangka panjang, yang akan menjadi peta jalan dan arah baru bangsa, menyelesaikan krisis narasi dan kepemimpinan nasional, sekaligus mengantarkan Indonesia memasuki gelombang ketiga sejarahnya dengan menjadi salah satu kekuatan utama dunia dan ikut berpartisipasi dalam menemukan keseimbangan global baru agar umat manusia terhindar dari ancaman perang global yang akan membinasakan eksistensi diri dan planetnya.
Gerakan gelombang kebangkitan rakyat Indonesia itu harus kuat dan massif, berderu-deru bagai gelombang samudera dari gelora cita dan cinta yang tak terbendung, menyatukan dan melibatkan seluruh elemen kekuatan rakyat, digerakkan oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena rakyat adalah pelaku utama sejarah yang berhak dan berkewajiban menentukan masa depan dan jalan sejarahnya sendiri.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, dan untuk menunaikan kewajiban sejarah, bangsa dan agama, serta diilhami oleh peristiwa Sumpah Pemuda yang menjadi penanda lahirnya kita sebagai bangsa dalam Gelombang Menjadi Indonesia, maka pada hari ini; Senin, tanggal 28 Oktober 2019, kami menyatakan berdirinya Partai Gelombang Rakyat Indonesia atau disebut GELORA INDONESIA.
Jakarta, 28 Oktober 2019