Koalisi Indonesia Maju (KIM) dipastikan akan mengusung pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menjelaskan secara panjang lebar alasan Partai Gelora dan partai politik (parpol) KIM lainnya mendukung Wali Kota Solo itu sebagai cawapres Prabowo Subianto di 2024.
Hal itu disampaikannya dalam program Anis Matta Menjawab Episode Spesial dengan tema “Mengapa Gibran?” yang telah tayang di kanal YouTube Gelora TV, pada Jumat (19/10/2023) malam,
“Jadi dalam empat tahun terakhir ini peristiwa politik yang paling penting adalah penyatuan Pak Prabowo (Prabowo Subianto) dengan Pak Jokowi (Joko Widodo). Saya menganggap itu adalah tambahan nilai baru dalam kualitas leader mereka berdua,” kata Anis Matta dalam keterangannya, Minggu (22/10/2023).
Menurut Anis Matta, Prabowo telah melawan dirinya sendiri ketika menerima ajakan rekonsiliasi dan masuk kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) di periode kedua. Padahal Prabowo dua kali kalah Pilpres di 2014 dan 2019 melawan Jokowi.
“Saya menganggap itu, adalah satu peristiwa psikologi leadership yang luar biasa di mana beliau berhasil melawan dirinya sendiri. Saya ini sudah mendukung Pak Prabowo dari 2014, 2019 dan sekarang juga. Saya melihat ada yang beda dari Pak Prabowo sekarang, yaitu itu punya kebesaran jiwa dan kerendahan hati,” katanya.
Anis Matta juga menilai Jokowi memiliki kebesaran jiwa dan kerendahan hati ketika mau menerima lawan politiknya, Prabowo Subianto masuk dalam kabinet.
“Jadi Pak Jokowi ini juga punya satu kebesaran jiwa dan kerendahan hati, dimana beliau sudah bertarung berdarah-darah dengan Pak Prabowo. Tapi demi kepentingan bangsa, mau menyatu, karena tidak ingin melibat bangsanya terbelah,” ujarnya.
Ketika itu, tepatnya pada 6 Oktober 2019, Anis Matta mengaku menemui Presiden Jokowi untuk menawarkan rekonsiliasi dengan mengajak masuk Prabowo dalam kabinet, karena dunia bakal dilanda krisis besar, sehingga dibutuhkan persatuan, serta tidak ada pembelahan di elite dan masyarakat.
“Usulan tersebut diterima Pak Jokowi, beliau ingin ada rekonsiliasi yang bisa menyatukan bangsa. Dan begitu dilantik di periode kedua, tak begitu lama terjadi wabah Covid-19 di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Coba bayangkan apabila bangsa masih terbelah, dan beliau berdua tidak bisa menyatu, apakah bisa kita menghadapi krisis, yang diperparah dampak perang Rusia-Ukraina ini,” katanya.
Sehingga dalam konteks ini, lanjut Anis Matta, rekonsiliasi harus tetap dilanjutkan, karena krisis besar saat ini belum selesai dan sedang menuju puncak-puncaknya, apalagi sekarang ada tambahan perang lagi antara Hamas, Palestina-Israel.
“Jadi dalam konteks Pilpres 2024, perwujudan dari Pak Jokowi ini adalah Gibran (Gibran Rakabuming Raka). Sebab, tidak ada calon-calon yang diusulkan merupakan kelanjutan dari nilai-niai rekonsiliasi, kecuali Gibran,” ujarnya.
Anis Matta menegaskan, tantangan terbesar ke depan adalah ancaman perang dan konflik gepolitik global, krisis ekonomi, bencana alam, perubahan iklim dan ancaman disintegrasi bangsa lainnya.
“Itulah di antara alasan kenapa kita mendukung Pak Prabowo, karena tantangan negara besar seperti Indonesia juga sangat besar. Dan Pak Prabowo ini dianggap sebagai tokoh pemersatu bangsa dalam konteks rekonsiliasi. Bukan lagi mewakili politik aliran, tetapi sudah politik populasi,” katanya.
Sehingga dengan mendukung Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo tersebut, upaya rekonsiliasi dengan Jokowi dapat tetap berlanjut, sehingga sebenarnya tidak ada kaitannya dengan politik dinasti.
“Jadi mengapa Gibran? Rekonsiliasi itu alasan pertama, alasan keduanya adalah mendapatkan tambahan kekuatan elektoral di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan alasan ketiga adalah perpaduan antara generasi tua dan muda,” paparnya.
Tidak Ada Relevansi
Dalam kesempatan ini, Anis Matta menjelaskan, bahwa tuduhan melanggengkan politik dinasti kepada Presiden Jokowi dengan mendukung Gibran sebagai cawapres Prabowo, tidak ada relevansinya. Sebab, dalam sistem demokrasi, jabatan yang dipilih rakyat tidak mengenal politik dinasti.
“Coba kita lihat di negara juaranya demokrasi, Amerika Serikat seperti George Bush dan Bush Jr, apakah itu bentuk politik dinasti. Bapaknya yang duluan presiden, lalu anaknnya. Anaknya dua periode, bapaknya hanya satu periode. Kemudian Bill Clinton sebagai mantan presiden mendukung istrinya, Hillari Clinton sebagai presiden, apakah itu disebut politik dinasti,” katanya.
Artinya, dalam sistem demokrasi itu, semua pilihan diserahkan kepada rakyat, apakah yang bersangkutan dipilih atau tidak. Politik dinasti itu terjadi jika jabatan tersebut ditunjuk, bukan melalui proses pemilihan dengan sistem demokrasi.
“Kalau di Indonesia itu contohnya, Mas AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) di Pilkada DKI, kalah juga meski anak presiden (Susilo Bambang Yudhoyono). Lalu, Puan (Puan Maharani) yang dikampanyekan sebagai capres, oleh PDIP nyatanya tidak dipilih, malahan pilih Ganjar (Ganjar Pranowo), padahal ketua umumnya ibunya sendiri, Ibu Mega (Megawati Soekarmoputri). Artinya dalam sistem demokrasi itu tunduk pada aturan elektabilitas,” tegas Anis Matta.
Dengan demikian, dinasti politik itu secara politik tidak berpengaruh dalam proses pemilihan, karena semua ditentukan oleh rakyat atau pemilih, termasuk di Pilpres 2024.
“Selama 25 tahun ini, masyarakat kita sudah menjadi masyarakat demokrasi dan generasi sekarang ini, generasi Z itu native demokrasi. Iklim demokrasi kita sudah tumbuh sejak 1998. Jadi dalam konteks soal politik dinasti ini sudah terjawab,” paparnya.
Ia berharap ada pematangan kedewasaan dalam berdemokrasi, dan tidak membangun asumsi-asumsi yang tidak perlu dalam menilai kapasitas atau kompetensi seseorang.
“Dulu Pak Jokowi ketika mau maju di 2014, disebut tidak kompeten, lebih kompeten Pak Prabowo. Tapi faktanya, Pak Jokowi berhasil mengelola negara. Sehingga penilaian itu hanya sekedar asumsi-asumsi saja,” katanya.
Asumsi itu, saat ini ungkapnya, juga menimpa Gibran yang dianggap tidak berkompeten dan tidak berpengalaman dalam pemerintahan, sehingga dianggap tidak layak diusulkan sebagai cawapres.
“Saya kira Mas Gibran sangat kompeten, dan bisa menjadi tambahan elektoral bagi Pak Prabowo. Sebelum berpasangan, Pak Prabowo sudah yang paling unggul, maka dengan adanya Mas Gibran akan menambah energi dan tambahan kekuatan elektoral bagi Pak Prabowo di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama di Jawa Tengah yang tidak pernah menang di 2014 dan 2019,” jelasnya.
Anis Matta menegaskan, pasangan Prabowo-Gibran dalam waktu 3-4 bulan ini akan menyakinkan pemilih yang mash ragu-ragu atau massa mengambang (swing voters) untuk menentukan pilihan politiknya ke pasangan Prabowo-Gibran.
“Kalau kita lihat, Gibran tidak akan merugikan Prabowo, malahan menguntungkan, karena akan ada tambahan elektoral. Makanya masalah-masalah itu, sesuatu yang masih debatable, bisa diuji dalam survei beberaoa hari ke depan. Saya yakin pasangan Prabowo-Gibran, elektabilitasnya tinggi,” pungkasnya.