Partai Gelombang Rakyat (Gelora) meliris program baru bernama Petamaya yang ditayangkan di kanal YouTube Gelora TV. Program tersebut memotret realita yang ada di dunia digital, kemudian dikonfrontasikan dengan dunia realita dan dibahas oleh narasumber kompeten.
Pada pekan lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan Sistem Pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 2024 adalah Proporsional Terbuka.
Di media daring dan media sosial, perbincangan dan polemik telah berlangsung lama, berbulan-bulan ke belakang. Para politisi, petinggi partai politik, pemerintah dan legislatif memperdebatkannya. Ada yang pro dan kontra.
Partai Gelora melalui Petamaya berusaha memetakan lanskap dunia maya untuk membaca semua itu, apakah data di dunia maya dengan pelaku para warganet itu relevan dengan suara dan opini masyarakat.
“Bekerjasama dengan lembaga riset digital CAKRADATA, kami menyajikan program menarik yang akan membuat kita memahami secara utuh perbincangan dan tema yang sedang hangat di dunia maya,” kata Endy Kurniawan, Ketua Bidang Rekruitmen Anggota DPN Partai Gelora dalam keterangannya, Senin (26/6/2023).
Menurut Endy yang bertindak sebagai host, dalam pembahasan topik seputar putusan MK ini, Petamaya mengamil tema ‘Menyakapi Pemilu Terbuka Antara #Petamaya dan Realita Publik’. Topik ini dibahas secara mendalam oleh Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah.
“Dalam tema perdana ini, kita mengangkap tema tentang Putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 juni lalu yang hangat dibicarakan, karena terkait dengan penyelenggaraan Pemilu 2024,” katanya. ]
Dalam temuan Petamaya, ungkap Endy, isu soal sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup ternyata hanya menjadi isu di kalangan elite nasional atau partai politik saja, termasuk para bakal calon anggota legislatif (bacaleg) yang akan bertarung di Pemilu 2024
“Jadi triggernya soal ini sudah muncul pada awal Januari dengan munculnya pernyataan para ketua partai politik, dan makin kebelakang intens ada 8 partai politik mendukung Pemilu terbuka, serta pernyataan Denny Indrayana yang mengungkap ada kebocoran putusan MK” katanya.
Sebaliknya realita di lapangan, di kalangan bawah hal ini justru tidak menjadi pembicaraan publik masyarakat bawah secara serius, berbeda ketika ada pembicaraan soal pembatalan Piala Dunia U-20 beberapa lalu.
“Dimana kita mendengarkan langsung dari masyarakat apakah pengaruh terbuka dan tertutup ini terhadap akurasi politik mereka sebagai penyaluran aspirasi mereka dan masa depan mereka, kurang dapat perhatian. Tetapi prinsipnya mereka juga menginginkan Pemilu Terbuka,” katanya.
Head of Lembaga Riset digital CAKRADATA Muhammad Nurdiansyah mengatakan, riset dilakukan pada 14-19 Juni 2023 dengan melibatkan berbagai sumber di media darling, akun media sosial seperti Twitter, Facebook, Instragram dan YouTube, serta sumber-sumber di pemerintahan.
“Jadi topik ini, kita temukan ada penggiringan opini yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh politik sejak Januari 2023 hingga Juni menjelang putusan MK. Momen krusialnya adalah soal pernyataan mantan Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) akan ada chaos politik, serta tuduhan soal kebocoran yang disampaikan Denny Indrayana,” kata Muhammad Nurdiansyah.
Dadan, saapaan Muhammad Nurdiansyah mengatakan, pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua MK Anwar Usman sebelum putusan MK, juga menjadi running soritan, selain pernyataan Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta dan Wakil Ketua Umum Fahri Hamzah terkait putusan MK ini sebagai kemenangan demokrasi.
“Uniknya Kanal-nakal YouTube juga menjadi sorotan seperti Kanal Official Rocky Gerung Jokowi kepada Megawati. Lalu, akun Official Refly Harun dikatakan MK Totak Gugatan Sistem Pemilu Tertutup, Denny Benar, MK Benar! Kok Bisa? karena dianggap unsur utama dalam menekan putusan MK,” katanya.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah mengatakan, Pemilu Terbuka akan mendorong partisipasi rakyat untuk membesarkan Indonesia.
“Artinya untuk membesarkan Indonesia tidak saja tanggung jawab segelintir orang atau pemimpin saja, tapi tanggung jawab semua orang,” kata Fahri Hamzah
Sistem Terbuka, kata Fahri, juga mendorong lahirnya pemimpin yang transparan dan terbuka, sehingga Indonesia akan lebih maju lagi. Hal ini tentu saja menjadi harapan dari Partai Gelora sebagai partai yang mengusung perubahan dan menjadikan Indonesia Superpower baru.
“Pada akhirnya kita bersyukiur, bahwa MK mendukung esensi negara demokrasi. Demokrasi itu intinya ya terbuka, bisa dilihat secara transparan siapa pemimpinnya. Kalau tertutup kita tidak tahu siapa pemimpinnya, kita juga tidak tahu bagaimana karakter dan track recordnya,” katanya.
Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini menambahkan, sepengetahuan dia tidak ada pembicaraan politik untuk kembali ke Sistem Tertutup. Permasalahan yang dibahas dalam Sistem Pemilu di DPR adalah menyangkut Pemilu Terbuka atau Pemilu Distrik.
“Karena perdepatan mengenai penggunaan model Pemilu Distrik ini, kalah dari Pemilu Terbuka, maka tetap gunakan Sistem Terbuka. Jadi tidak ada pembicaraan sama sekali soal Pemilu Tertutup. Opsinya hanya dua ketika itu, Proporsional Terbuka dan Sistem Distrik,” katanya.
Dalam Sistem Pemilu Terbuka, Fahri menegaskan, negara sebagai Penyelenggara Pemilu akan membangun suatu Sistem Pemilu yang mengintegrasikan antara pemimpin atau yang mereka pilih dengan rakyat yang memilihnya.
“Sehingga akan mengembalikan hubungan yang luhur antara pemimpin dengan rakyatnya,” pungkas Fahri Hamzah